BOOK REVIEW
Judul
Buku : Fiqih Wanita
Pengarang : Muhammad Mutawwali Sya’rawi
Penerjemah : Ghozi. M
Penerbit : Pena Pundi Aksara
Kota
: Jakarta
Tahun
: 2006
Halaman : 294 + xiv
A.
PENDAHULUAN
Nama beliau adalah Muhammad Mutawwali Sya’rawi,
lahir pada 16 april 1911, di Daqadus, Daqahliyyah, Mesir. Hafal Al-Qur’an pada
usia 11 tahun. Menyelesaikan pendidikan di Universitas Al-Azhar Fakultas Bahasa
Arab pada tahun 1941. Pernah menjadi guru yang mengajar di beberapa kota di
mesir. Juga pernah mengajar studi Tafsir dan Hadits, di universitas Malik Abdul
Aziz, Fakultas Syari’ah, Mekah. Ketenarannya sebagai seorang da’i mulai
mengkilap pada tahun 1973, saat ceramah-ceramahnya disiarkan langsung oleh Televisi
Mesir setiap hari jum’at. Pada 1976 Perdana Menteri Mamduh Salim mengangkatnya
sebagai menteri waqaf Mesir sekaligus menteri negara urusan Al-Azhar pada
kabinet Mamduh salim yang direshuffle pada tahun 1977. Karena kecintaannya ke
pada umat, pada 15 oktober 1978, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
menteri. Selanjutnya, ia mulai keliling dunia, berdakwah, dan menyampaikan
ajaran-ajaran agama dengan cara yang sangat bijak dan ramah. Beliau wafat pada
17 juni 1998 di kediamannya dan dimakamkan dikampung halaman tercinta, Daqadus.
Kepergiannya bertemu Allah dihadiri oleh banyak sekali pembesar dan ulama yang
datang dari berbagai penjuru negara Arab, selain ratusan ribu masyarakat mesir
sendiri.
Sementara dengan membaca bukunya ini, Fiqih Wanita
yang edisi aslinya Fiqhul Mar’ah
al-Muslimah, kita akan mendapatkan gambaran tentang kedudukan makhluk yang
bernama wanita yang mempunyai status, keluasan gerak, kemuliaan, kehormatan dan
perhatian yang sangat tinggi dan besar bagi seorang wanita. Membaca buku ini
akan memperteguh eksistensi seorang wanita agar kesehariaannya tidak terlepas
dari bimbingan Allah SWT. dan Rasul-Nya.
B.
ISI
Buku yang berjudul Fiqih Wanita ini disajikan tidak
berdasarkan bab namun memiliki banyak
pembagian yang dibahas dalam buku ini. Hal yang dibahas dalam buku ini yaitu,
wanita dalam perspektif islam, haid dan nifas, thaharah, hijab dan aurat
wanita, wanita dan shalat, wanita dan zakat, wanita dan haji, pernikahan, dan
hidup berumah tangga, kehidupan rumah tangga di surga, konflik dan perceraian
dalam keluarga, menyusui dan hukum-hukumnya, wanita dan mode, wanita dan
interaksi sosial, wanita dan jihad, islam dan tuduhan diskriminasi.
Dalam buku tersebut sangat banyak
sekali isi pembahasannya sehingga dalam tiap-tiap bagian pembahasannya tidak
begitu rinci. Diperlukan juga pembimbing yang memahami pembahasan tersebut
supaya yang membaca atau yang hendak mempelajarinya secara sempurna bisa
memahami betul pembahasan tersebut.
C.
PEMBAHASAN
Pada
bagian pertama dibahas tentang wanita dalam perspektif islam, yaitu kondisi
wanita sebelum islam dimana pada saat itu kondisi wanita sangat memprihatikan. Seperti
di daerah yunani, romawi, masyarakat yahudi, cina, india. Adapun Di jazirah
Arab wanita tidak memiliki hak untuk hidup dengan layak.
Tidak ada seorang pun yang memperjuangkan kehormatan mereka. Namun dalam buku
fiqih dakwah muslimah mengatakan dalam masyarakat Arab, wanita memiliki
kedudukan yang setara dengan nilai-nilai yang mendominasi masyarakat. Mereka
memuliakan wanita jika ia adalah seorang ibu sehingga terangkatlah derajatnya,
yang karenanya banyak laki-laki yang menisbahkan diri mereka kepada ibu-ibunya.
Terutama bila ibu-ibu mereka adalah wanita-wanita terhormat. Islam mengajarkan
prinsip kesetaraan antara laki-laki dan wanita dalam hak dan kewajiban.
Pada bagian kedua membahas tentang
haid dan nifas. Mendengarkan Al-quran boleh dilakukan oleh wanita yang haid
atau nifas. Hal yang dilarang bagi mereka adalah menyentuh, memegang, dan
membaca Al-Qur’an.
Mensucikan pakaian dari darah haid
adalah dengan mencucipakaian tersebut denagn sebaik-baiknya, menggosok dan
menyiramnya dengan air. Dan berdasarkan hadits aisyah ia berkata, “ salah
seorang di antara kami mengalami datang bulan, kemudian ia mencoek darah yang
melekat pada pakaiannya ketika ia telah suci. Setelah itu ia mencucinya dan
menyiramkan seluruh bagian pakaian tersebut dan akhirnyaia shalat dengan
pakaian itu”
Pada bagian ketiga penulis membahas
tentang Thaharah yaitu membahas tentang bersuci. Ulama berbeda pendapat tentang
apakah berjabat tangan antara laki-aki dan wanita yang bukan mahram membatalkan
wudhu. Para pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa bersentuhan kulit yang
membatalkan wudhu adalah persentuhan yang disertai nafsu syahwat. Jika tidak,
wudhunya pun tidak batal. Pendapat ini juga disetujui oleh imam ahmad ibnu hambal.
Apabila seorang suami menyentuh istrinya, atau sebaliknya istri menyentuh
suaminya tanpa adanya penghalang, maka hal itu tidak membatalkan wudhu’
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari aisyah , bahwa
rasulullah pernah menciumnya, sedang beliau dalam keadaan berpuasa seraya
berkata :” bahwa sesungguhnya ciuman itu tidak membatalkan wudhu dan puasa (HR.
Al-Bazzar dengan sanad jayyid)
Pada bagian keempat membahas tentang
hijab dan aurat wanita.
Allah
berfirman :
“ dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita...” ( an-nur : 31 )
Tujuan hijab adalah untuk menjaga
masyarakat dari fitnah dan memberikan rasa aman bagi wanita; ia tidak perlu
khawatir suaminya keluar rumah lalu tidak kembali lagi karena tergoda oleh
wanita lain. Para ulama sepakat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat,
kecuali wajah dan telapak tangannya. Abu Hanifah menambah pengecualian itu
dengan kedua mata kaki.
Pada
bagian kelima membahas tentang wanita dan shalat. Shalat jum’at tidak wajib
bagi wanita. Jika ia datang ke masjid dan ikut melaksanakan shalat jum’at, maka
ia tidak perlu lagi melakukan shalat zuhur.
Apabila wanita muslimah bermaksud datang ke masjid untuk mengikuti shalat
jum’at, maka disunnatkan baginya untuk mandi dan memakai pakaian yang bersih.
Akan tetapi, tidak ada dosa jika ia tidak datang ke masjid.
Pada bagian keenam membahas tentang
wanita dan zakat. Pada prinsipnya, menggunakan harta suami untuk kebaikan
diperbolehkan apabila suami memberikan izin. Istri boleh bersedekah atau
menghajikan orang tuanya yang telah
meninggal dunia dengan menggunakan harta suami apabila suaminya mengizinkan.
Dari abu umamah , ia menceritakan; aku pernah mendengar Rasulullah bersabda
ketika berkhutbah pada pelaksanaan haji wada’: “tidak diperbolehkan bagi wanita muslimah menginfakkan sesuatu pun dari
rumah suaminya, kecuali dengan seizinnya. Kemudian ditanyakan kepada beliau:
wahai rasulullah, termasuk juga makanan? Beliau menjawab : itu merupakan harta
kita yamg berharga,”( HR. Tirmidzi dan beliau menghasankannya)
Pada bagian ketujuh membahas tentang
wanita dan haji. Wanita tidak harus mengenakan pakaian khusus untuk ihram.
Pakaian yang dikenakannya sehari-hari, sepanjang itu menutup aurat dan memenuhi
syarat-syarat hijab, maka dapat dipakai untuk ihram.
Dalam ihram, wanita muslimah diperbolehkan mengenakan pakaian berwarna hijau,
hitam atau warna lainnya. Mengenai pengkhususan pemakaian warna hijau dan hitam
saja, oleh sebagian orang, merupakan pendapat yang tidak mempunyai landasan.
Pada bagian kedelapan membahas tentang
pertunangan,pernikahan dan hidup berumah tangga.
Artinya
: dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Pernikahan adalah separuh perjalanan
hidup seorang muslim. Hal tersebut menjadi alasan baginya untuk mendapatkan
yang terbaik. Seorang muslim dibolehkan untuk memilih, meneliti, dan
beristikharah dalam menentukan pasangan hidupnya. Istikharah adalah dengan
melakukan shalat dua rakaat dan membaca doa yang diajarkan oleh Rasulullah.
Larangan menikahi wanita musyrik
juga mengandung peringatan bahwa kita tidak perlu tertipu dengan
standar-standar yang semu. Ketertarikan seorang laki-laki kepada wanita, jika
tidak didasarkan dengan iman, tidak akan bertahan lama.
Wanita muslimah sama sekali tidak
dibolehkan menikah dengan laki-laki non-muslim. Begitu pula, seorang kafir
tidak boleh memiliki budak muslim.
Pada bagian kesembilan membahas tentang
kehidupan rumah tangga di surga. Al-Qur’an menggambarkan keutamaan penduduk surga (orang-orang yang
bertakwa) yang akan selalu terjaga dari hal-hal yang dibenci. Sungai-sungai
yang mengalir indah, pakaian menyejukkan mata, dan interaksi satu sama lain
yang berlangsung baik. Kenikmatan para bidadari dan buah-buahan melimpah ruah
yang tak pernah habis. Dan, puncak dari semua kenikmatan tersebut adalah bahwa
penduduk surga tidak akan pernah mengalami kematian.
Pada bagian kesepuluh membahas tentang
konflik dan perceraian dalam keluarga. Islam adalah agama yang sangat
realistis. Ketika berbicara tentang perceraian, islam menetapkan aturan-aturan
yang sangat manusiawi. Islam menyadari bahwa dalam kehidupan bersama antara dua
individu yang berbeda, selalu ada kemungkinan timbulnya konfik dan pertikaian
yang sulit di damaikan.
Pada bagian kesebelas membahas tentang
menyusui (Radha’ah). Radha’ah yang dimaksud di sini adalah praktik menyusui
anak orang lain yang bukan darah dagingnya sendiri. Ketika seorang wanita
menyusui seorang bayi, maka dalam tubuh bayi terdapat bagian dari dirinya.
Karena itu, radha’ah menyebabkan knsekuensi-konsekuensi hukum tertentu, seperti
larangan menikah dengan wanita yang menyusui berikut keluarganya.
Sebagian ulama dari kalangan sahabat nabi berpendapat: “ penyusuan, sedikit
maupun banyak jika telah sampai ditenggorokan maka telah menjadikan orang yang
menyusui dan yang disusui haram menikah.” Ini merupakan pendapat sufyan
ats-Tsauri, malik bin anas, Al-Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Waki’ dan penduduk
kufah.
Pada bagian ke duabelas membahas tentang wanita dan mode. Kecantikan
adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Allah berdasarkan dari kombinasi dari semua
unsur-unsur keindahan pada wajah. Adapun wanita tidak boleh mencabut dan
menipiskan bulu-bulu alis. Wanita tidak boleh menggunakan parfum diluar rumah.
Berhias dan menggunakan wewangian hanya boleh dilakukan istri untuk suaminya di
rumah.
Selanjutnya dalam permasalahannya ini imam asy syaukani pernah berkata : “bahwa
wanita yang berjalan melewati majlis-majlis sedang dia memakai minyak wangi
yang baunya menyengat hidung, maka wanita tersebut dikatakan sebagai wanita
penzina seperti yang diriwayatkan at-tirmidzi.
Pada bagian ke tigabelas membahas
tentang wanita dan interaksi sosial. Apabila wanita terpaksa harus berbicara
dengan laki-laki, dia tidak boleh membuat suaranya
mendayu-dayu,berirama,manja,atau apapun yang bisa merangsang nafsu. Al-qur’an
menyatakan bahwa hal tersebut dilarang agar tidak bangkit gairah nafsu orang
yang ada penyakit dalam hatinya.
Menurut Imam Hanafi, bahwa suara wanita
itu tidak termasuk aurat. Karena berdasarkan bahwa para istri Rasulullah
Saw.Pernah bercakap-cakap dengan para sahabat beliau dan para sahabatpun
mendengarkan ajaran-ajaran (hukum-hukum) agama yang disampaikannya.Tapi madzhab
ini mengharamkan mendengar suara wanita jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah
sekalipun yang didengarkan itu bacaan Al-Qur’an daripadanya. Menurut Imam
Syafi’i, suara wanita adalah termasuk aurat dihadapan laki-laki yang bukan
muhrimnya, apakah dikhawatirkan timbul fitnah atau tidak.
Islam tidak melarang wanita bekerja.
Hanya saja harus diupayakan agar aktivitas itu berlangsung didalam rumahnya, di
tengah-tengah keluarganya sendiri. Jika mesti bekerja di luar rumah, dia tetap
diwajibkan untuk berjalan dengan tenang, tidak menarik perhatian, dan
senantiasa memelihara kehormatannya. Bekerja di luar rumah tidak boleh menjadi
dalih serta alasan untuk bergaul dan bercampur dengan para lelaki.
kegiatan sosial bagi seorang muslim meliputi setiap kegiatan yang dilaksanakan
secara bersama dan teroganisasi dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat dalam bidang kehidupansosial, baik yang bersifat kebudayaan,
pendidikan, kesehatan, olahraga, hiburan, seni atau pun berupa pemberian
bantuan material kepada para fakir miskin.
Pada bagian ke empatbelas membahas
tentang wanita dan jihad. Rasulullah saw. Selalu membawa para wanita dalam
perang-perang yang beliau lakukan. Ada sebuah kisah tentang Umayyah binti Qais
al-Ghifariyah, seorang sahabat wanita yang berperang dengan gigih di khaibar.
Setelah perang usai, rasulullah menghadiahkan kepadanya sebuah kalung yang
terus sipakainya sampai dia meninggal dunia. Bahkan dia berwasiat agar kalung
itu dikuburkan bersamanya.
Wanita pada hakikatnya dapat berperan penting dalam masalah jihad, karena jihad
bukan berarti semua orang harus berada di front terdepan dan memegang senjata.
Penyusunan starategi perang, mengobati korban luka, dan pengelolaan urusan
logistik misalnya, adalah diantara tugas-tugas penting yang dapat melangsungkan
aktivitas jihad ini. Jika demikian, tidak semua orang yang terjundi dalm
peperangan mengangkat senjata.
Pendapat yang mengatakan bahwa jihad
bukan merupakan tugas wanita, sebenarnya khusus menunjuk pada jihad
ibtida’i.adapun jika wanita telah menjadi seorang pemimpinsebuah batalyon dalam
peperangan untuk mempertahankan negara dari serangan musuh, maka hal itu tidak
hanya boleh, namun terkadang juga merupakan kewajiban. Karena mempertahankan
negara tidak dikhususkan untuk pria saja namun juga untuk wanita dalam
mempertahankan negara wanita dapat seperti pria yakni turut serta dalam seluruh
medan perang atau bukan pada medan perang. Oleh sebab itu wanita wajib turut
serta mempelajari aktivitas kemiliteran, sehingga dia dapat selalu siap siaga
kapan pun kondisi menuntutnya terlibat dalam negara memintanya.
Pada bagian ke limabelas membahas
tentang islam dan tuduhan diskriminasi. Wacana diskriminasi islam terhadap
wanita, dengan hanya memberikan hak poligami kepada laki-laki, diembuskan oleh
kalangan orientalis justru dengan motif ingin membangkitkan semangat hedonisme
dalam diri para wanita. Mereka beralasan bahwa islam telah memasung kebebasan
wanita untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Padahal yang terjadi justru
sebaliknya. Islam melarang poliandri karena ingin mengangkat harkat martabat
wanita dengan karakternya yang penuh kasih sayang dan cinta, dan oleh karena
itu, wanita hanya boleh dimiliki oleh satu laki-laki saja.
Menurut Mahmud Syaltut, mantan Syekh
Al-Azhar di mesir, hukum poligami adalah mubah, yakni dibolehkan, selama tidak
dikhawatirkan terjadinya penganiyaan terhadap para istri. Jika terdapat
kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiyaan dan untuk melepaskan
diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan
beristri satu orang saja. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kebolehan
berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan
kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan, yaitu penganiayaan terhadap para
isteri.
D.
KESIMPULAN
Buku yang
berjudul “Fiqih Wanita” adalah hasil terjemahan dan tentunya sangat berbeda
dengan buku pada umumnya yang biasanya ada footnote dan daftar pustakanya.
Dalam buku ini juga sebagian surah Al-Qur’an dan hadis tidak dipaparkan namun
langsung kebagian artinya saja. Namun buku ini sangat baik untuk dibaca karena
dari segi kertasnya sangat baik dan ukuran font hurufnya juga baik untuk dibaca
tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar, adapun jarak spasi antara kalimat
sangat baik untuk pembaca karena ini juga sangat mempengaruhi bagi si pembaca.
Buku ini juga sangat menarik untuk dibaca bahkan untuk di diskusikan terutama
bagi wanita karena buku ini menyangkut kehidupan wanita sehari-sehari dalam
konsep islam.
E.
DAFTAR
PUSTAKA
5. Abdul
Halim Abu Syuqqah, kebebasan wanita,
terj.,chairul Halim,Jakarta:Gema Insani Press,2000.
8.
Mahtuf ahnan, Risalah Fiqih Wanita,Surabaya: Terbit
Terang.